Peneliti Mengembangkan Alat Prediksi untuk Menekan Peningkatan Angka Bunuh Diri

Saturadar.com | Pertahun 2017, peningkatan angka kematian dari kasus bunuh diri di kalangan orang muda sangatlah meresahkan. Merujuk data dari National Institute of Mental Health (NIMH) ada peningkatan kasus bunuh diri yang meningkat dengan cukup signifikan. 

Data yang dikumpulkan di Amerika tersebut menunjukkan bahwa kasus bunuh diri dikategorikan sebuah krisis kesehatan masyarakat. Akan tetapi sering kali pelaku tidak mengakui kepada terapisnya ketika konseling bahwa dia ingin bunuh diri.

Inilah yang memotivasi peneliti untuk mencari tanda atau isyarat agar dapat mengetahui apakah pasiennya memiliki kecenderungan untuk mengakhiri hidupnya, dengan menilai dari banyak aspek. Bisa dilihat dari masa lalunya, agitasi, sejarah keluarga, kesulitan tidur malam, rasa keamanan dan kenyamanan, serta sejarah kehidupan sosial.

Sebuah tulisan dari Psychology Today, Selasa (31/10/2017), menjelaskan jika pemikiran bunuh diri tidak selalu berkaitan dengan gangguan kejiwaan. Akan tetapi pikiran dan perilaku bunuh diri bisa saja terjadi pada orang ketika sedang kondisi kejiwaan seperti depresi berat, pengunaan narkotika, mengalami trauma, gangguan kecemasan, dan masalah kepribadian.

Kemudian sebetulnya metode apa saja yang bisa jadi solusi untuk mengatasi pemikiran yang merusak tersebut? Salah satu cara yang umum untuk dilakukan adalah dengan pendekatan psikologis, guna memahami dan mencari alasan yang melahirkan keinginan bunuh diri dari orang tersebut.

Atau bisa juga dengan terapi rutin guna menekan keinginan pasien, agar intensitas dan frekuensinya menurun. Akan tetapi kedua hal ini tidaklah mudah untuk dikerjakan oleh psikiter atau ahli kejiwaan. Hal inilah yang mendesak agar ilmuwan dapat menciptakan alat untuk memprediksi adanya risiko bunuh diri.

Pesatnya perkembangan teknologi penelitian saraf dewasa ini sangatlah memungkinkan peneliti untuk menganalisa aktivitas otak guna melihat apakah pasien mempunyai kecenderungan untuk menyakiti diri sendiri atau tidak.

Dengan harapan bahwa alat tersebut nantinya dapat membantu para psikiater dan ahli kejiwaan untuk membuat diagnosa dengan lebih akurat untuk pengobatan klinis menjadi lebih baik.

Sebuah penelitian yang dikepalai oleh Marcel Adam Just yang fokus kepada kasus bunuh diri (diterbitkan oleh Nature), mencoba untuk mendalami pemikiran pelaku bunuh diri. Mereka bereksperimen kepada 79 orang dewasa dengan kondisi sedang ingin bunuh diri dan memiliki trauma keluarga.

Beberapa instrumen yang digunakan peneliti dalam menangani kasus bunuh diri adalah menilai tingkat depresi, trauma masa kecil, kecemasan, dan kondisi kejiwaan lainnya dengan dievaluasi dokter dan skala penilaian yang juga tervalidasi. 

Peneliti juga menggunakan Functional Magnetic Resonance Imaging (FMRI) guna menganalisa aktivitas otak mereka terkait bunuh diri. Pada penelitian tersebut, peserta diberi sejumlah kata yang berkaitan dengan emosi positif, emosi negated dan bunuh diri.

Lalu mereka diminta untuk secara aktif mempertimbangkan gagasan yang diberikan dengan mendetail. Hal tersebut akan mempermudah peneliti menganalisa aktivitas otak mereka, kemudian data dianalisa dengan representasi FMRI yang berhubungan dengan makna kata stabil dan kemudian menentukan lokasi anatomis di jaringan sarafnya.

Peneliti memakai artificial intelegent/ AI atau sebuah program kecerdasan buatan dari komputer, untuk melihat kemampuan peserta membedakan arti dan pola tentang bunuh diri, emosi positif dan negatif. Tujuannya adalah supaya peserta mampu secara akurat membedakan keinginan bunuh diri secara sadar dan spontan.

Kemudian para peneliti akhirnya dapat menyimpulkan apakah orang tersebut memiliki kecenderungan untuk bunuh diri atau tidak, dinilai dari pemaknaan kata seperti riang, tidak bernyawa, atau kematian, yang mewakili isi pikiran pasien tentang dirinya sendiri atau lingkungannya.

Peneliti menjelakan jika metode ini belum sempurna, mengingat jumlah orang yang disurvei relatif kecil, dan peralatan yang tersedia juga belum tersedia luas. Oleh sebab itu akan dilakukan lagi pengujian pada populasi yang lebih besar guna melihat apakah hasil ini tidak hanya akan diulang dengan rentang usia dan kondisi kejiwaan yang lebih luas.

Akan tetapi penelitian dan alat yang ada sekarang menunjukkan adanya sebuah harapan besar, yang bisa menjadi bukti dan konsep bahwa pembelajaran mesin bisa digunakan untuk menganalisa representasi syaraf untuk mengembangkan model prediksi perilaku seseorang.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel