Mengapa Orang Pintar Mendukung Radikalisme? Ini Penjelasannya

Anda mungkin tak jarang menemukan bahwa banyak teman-teman anda yang pintar (paling tidak secara akademis), yang jaman SMA dulu kayak nggak pernah ngaji, jaman kuliah juga gak gabung liqo’ atau forum kajian mendadak sekarang kenceng banget ngomong agama atau bela “ulama” anu dan itu. Bahkan ada yang ekstrem sampai menghujat ulama beda haluan; yakni ulama-ulama yang sejak kita masih ingusan udah mendakwahkan hikmah ilmu. 

Anda mungkin makin heran. Ada di antara mereka yang cerdas itu punya profesi mentereng: dokter, teknokrat, penulis, filmmaker, dll. Intinya mereka itu bukannya orang-orang yang bodoh dan miskin. Bukan orang-orang kepepet yang bisa ditipu jadi “pengantin” dengan imbalan 72 bidadari. Bahkan mereka juga mengutuk adanya aksi teroris bodoh macam itu. Tapi kok…ideologinya sehaluan?

Kok bisa ya?

Ilustrasi: Teroris beraksi

LANDASAN BERPIKIR

Sebelum jauh membahas itu saya perlu mengingatkan untuk membedakan istilah RADIKAL dengan EKSTREM. Radikal dalam bahasan politik pada dasarnya adalah upaya melakukan perubahan struktur masyarakat politik secara revolusioner dan fundamental. Gampangannya upaya ganti bentuk negara. Sedangkan EKSTREM adalah kondisi yang dianggap berlebihan dalam mencapai tujuan. 

RADIKAL adalah istilah yang saya gunakan untuk menyebut sekelompok orang yang punya cita-cita mengganti dasar negara. Jadi gak usah berbelit-belit nanya saya lagi ya apa itu radikalisme.
Apa kesamaan penganut radikalisme dengan ekstremis?

Sama-sama totalitarian, sama-sama ingin berkuasa secara revolusioner. Dalam beberapa derajat, tafsir keagamaannya cenderung tidak progresif. Kaum ekstrem lebih parah lagi karena mereka literer.
Apa perbedaannya?

Kaum radikal ada yang menempuh jalur konstitusional, pakai jalur hukum. Sedangkan ekstrem melalui kudeta.

Ingat saya cuma membahas radikalisme versi Islam. Radikalisme yang lain misalnya komunisme bukan cakupan bahasan ini.

=========
Tentu kita tak bisa menghakimi proses belajar agama setiap orang. Ada yang belajar secara sistematis melalui ustadz yang sudah bereputasi. Ada yang belajar dari buku dan menarik kesimpulan sendiri. Sekarang ini bisa juga orang belajar agama via internet. 

Menurut saya, belajar apapun yang penting adalah “caranya” alias metodologinya. Metodologi ini bisa dikenali jejaknya kalo seseorang pernah ngaji yang bener. Yang bener yang gimana? Ya yang pake metodologi. Karena ayat-ayat Al Quran itu gak bisa seenaknya dicomot tanpa tahu latar belakang turunnya (Azbabun Nuzul), hukum-hukum agama yang terkandung dalam hadits juga gak bisa mentah diterapkan tanpa tahu ada latar kondisi primer sebagai alasan hukum berlaku (‘illat).

Ilmu agama itu kompleks. Makanya butuh waktu bertahun-tahun, mempelajari bahasa asal agama, membandingkan banyak referensi untuk bisa bijak menyampaikan ilmu pada umat. Saya yakin bahwa semakin mumpuni seorang ulama, ilmunya makin dalam, makin low profile alias tawadhu’.
Bahkan dalam nahi munkar pun, ulama yang tawadhu’ ngerti mana yang prioritas (Yusuf Qardhawi merumuskan hal ini dalam Fiqh Prioritas). Ngerti mana mashlahat dan mudharatnya jika suatu gerakan melawan kemunkaran dilakukan tidak dengan jalan yang baik.

Soal yang jadi “sholeh dadakan” ini saya punya beberapa dugaan (terlalu berat lah kalo dibilang teori hahaha).

Ada 3 hal yang bisa menjelaskan kenapa orang pintar bisa jadi radikal:
1. Perasaan bersalah (dalam berbagai varian dan level)
2. Sindrom inferioritas dan insecure (secara kolektif)
3. Ideologi totalitarian

1. PERASAAN “BERSALAH” 

Bisa jadi masa muda yang dihabiskan tanpa peduli apapun soal agama, berusaha ditebus dengan beragama sekenceng-kencengnya saat dewasa. Ia terlalu sibuk dengan ilmu-ilmu duniawi dan lupa belajar ilmu akhirat. Begitu dewasa dan kaya, ada yang terasa kosong dalam batin. Merasa menjadi bagian dari masyarakat yang sama agamanya, ia merasa ada tanggungjawab moral untuk membela agama yang selama ini ia cuekin. 

Anehnya, ilmu-ilmu positif yang mereka pelajari hanyalah jadi alat kerja semata.  Sikap kritisisme dan skeptis yang merupakan basis dari ilmu positif (science) tidak mereka pakai untuk membedah keyakinan. Merea menganggap akhirat ebih tinggi dan tak tergugat. Tak heran mereka yang kritis dalam ilmu positif jadi taqlid kalo urusannya surga dan neraka. Mereka, kalau ikut kajian pun yang cuma searah tanpa proses dialektis.

Gejala perasaan bersalah secara relijius juga bisa ditemukan pada orang yang hidupnya penuh maksiat dan hedonist. Mereka ketika tobat bisa menjadi sangat sholeh bahkan pada level ekstrim. Mungkin ia kuatir dosa masa lalunya tak tertebus. Yang macam ini, suka banget nyebar motivasi-motivasi keagamaan di kanal-kanal media sosial mereka.

2. INFERIORITY & FEELING INSECURE


Kejayaan Islam mulai pudar sejak runtuhnya kesultanan Ottoman Turki. Turki modern di bawah Mustafa Kemal Attaturk mencoba meniru-niru Eropa. Umat Islam yang masih ingat kejayaan lama hatinya hancur melihat ini. Kekalahan dan kebangkrutan politis terjadi di mana-mana. Dunia Islam terjebak dalam kebodohan dan kemiskinan sementara Revolusi Industri Eropa telah membawa tatanan dunia baru. 

Kekuatan dunia tidak lagi sama kayak abad pertengahan. Era perang salib bergeser ke era perang ideologi-politik antara kapitalisme VS komunisme. Dalam kondisi ini status banyak negara muslim hanyalah menjadi negara jajahan. Lalu komunis runtuh, orang-orang Islam coba nyari panggung kejayaan lagi. Setidaknya ide-ide khilafah dan variannya kembali didengungkan.  

Setelah era reformasi, parta-partai berazas Islam kembali muncul. Ormas-ormas berhaluan ekstrim juga makin memiliki posisi penting dalam membangun opini publik. Setidaknya itu terbaca ketika terjadi fenomena demo “7 juta umat”. Demo yang didukung secara luas itu meski memuat suara banyak faksi (yang tak selalu ekstrim) paling tidak juga digawangi oleh FPI, salah satu ormas berhaluan keras.

Ada keinginan kolektif untuk menjayakan kembali agama. Mereka tak rela martabatnya direndahkan atau dipinggirkan. Mereka yang ekstrem ini jelas tidak seperti NU dan Muhammadiyyah dalam menyatakan sikap publik. Sementara NU dan Muhammadiyyah masih memilih bentuk NKRI, ormas-ormas ekstrim lantang meneriakkan khilafah sebagai solusi.

Saya melihat ini hanyalah cerminan dari perasaan inferior, merasa terzhalimi dan merasa tak diberi ruang. Makanya nggak tanggung-tanggung, mereka menuntut lebih radikal…ganti aja bentuk negaranya. Yang macam ini mudah sekali merasa jadi korban ketakadilan pemerintah. Merasa salah satu cara mengembalikan kehormatan (izzah) ya dengan cara radikal.

Pendukung paham ini menurut amatan saya bukan bodoh. Tak semuanya miskin literasi. Beberapa bisa mempertahankan argumen dengan baik, sementara yang lainnya sangat buruk dalam sistematika diskusi serta sering denial.

Orang-orang yang insecure ini merasa punya nilai ketika mereka menyuarakannya dalam koridor radikal. Mirip kebanggaan pada klub sepakbola. Keyakinan yang ia imani harus jaya. Masalahnya mereka hidup di alam plural yang sudah sunatullah. Mereka harus berbagi ruang dengan saudara beda agama dan ideologi.

3. IDEOLOGI TOTALITARIAN


Ini adalah soal preferensi ideologis. Totalitarian meyakini bahwa semua aspek hidup sedetail-detailnya harus diurusi negara. Mereka menganggap bahwa manusia tak cukup dewasa untuk memilih cara hidup mereka sendiri. Mereka harus diatur dan dikuasai oleh “orang-orang yang kompatibel atau terpilih”. Kalau dalam politik, totalitarianisme menjelma menjadi fasisme. Sedangkan dalam psikologi beragama, orang totalitarian beranggapan bahwa hukum agama harus ditegakkan dalam level bermasyarakat dan bernegara. 

Orang totalitarian nggak identik dengan bodoh. Dokter, seniman, guru, dosen, teknokrat, ilmuwan dll. Bisa saja menganut ideologi macam ini. Saya ngomongin soal Islam. Rembesan totalitarian ini bisa tercermin dalam interpretasi keagamaan mereka. Merekalah yang pro hukum syariat disahkan dalam bentuk undang-undang umum, memilih bentuk negara agama dll. Tapi janganlah “gebyah uyah”, mereka pun bukan berarti pro terhadap kekerasan. 

Cuma saja saya amati (saya bisa aja salah by the way…) beberapa (ingat nih…BEBERAPA TIDAK SEMUA) dari mereka ini enggan mengakui bahwa kelompok yang mereka taruh simpati telah melakukan kekerasan. Kasus bom Kampung Melayu kemarin aja banyak yang denial. Jadi ya tak heran kenapa banyak yang dukung ormas bermasalah macam FPI dan imamnya. Organisasi dan imamnya adalah simbol “izzah” mereka hehehe Sang imam didera kasus ya mereka gak bakal percaya. Beda halnya kalo dari kubu oposannya. Hoax soal presiden itu PKI juga mereka sebar tanpa perlu tabayyun.

Menurut saya, kecenderungan totalitarian ini bisa jadi merupakan watak psikologis seseorang. Anda nggak bisa ubah itu dengan mudah. Ada orang-orang bertipe ideologis demokrat atau liberal. Ia menganggap bahwa manusia harus diberikan kebebasan menentukan dirinya. Tentu saja sesuai koridor. Sedang yang totalitarian menganggap manusia itu perlu diawasi dan dikontrol penuh bahkan hingga ke aspek pribadi.

Berilah orang totalitarian agama, maka ia akan membawa pemahaman agamanya hingga ke level bagaimana masyarakat kudu diurus hehehe

BAGAIMANA LAYAKNYA SIKAP KITA 


Saya tidak menolak sepenuhnya bahwa urusan agama masuk dalam regulasi birokrasi. Masalahnya urusan yang mana? Islam itu luas wilayah yurisprudensinya. Antara lain ada jinayah dan siyasah. Masing-masing masih terbagi lagi dalam subkategori. Jinayah adalah mengatur soal pidana, mencakup hudud, qishas dan ta’zir. Siyasah mengatur soal perdata seperti imamah (kepemimpinan) dan imarah (pemerintahan). Nanti masih ada lagi urusan yang dimensinya sosial seperti hukum muamalah, munakahat, faraidh dll. Tanya Pak ustadz aja ya haha saya gak pakar soal gini.

Islam lahir dengan seperangkat hukum karena memang berasal dari kondisi tak bernegara/stateless. Arab masa nabi itu isinya suku-suku/tribal. Bedakan dengan umatnya Yesus dan Buddha yang punya negara yang jelas. Jadi untuk saat ini, saya rasa bentuk NKRI sudah akomodatif terhadap aspirasi Islam. NKRI adalah final. Ngapain repot-repot start dari nol yang pastinya akan makan korban tak sedikit?

Silakan aja punya psikis totalitarian selama nggak diumbar jadi bensin perpecahan. Kita tak bisa mengontrol pikiran, hanya bisa membatasi perilaku. Dan bagi yang masih meragukan bom kemarin adalah kezhaliman yang nyata untuk manusia, bahkan merusak citra Islam sendiri…di mana cerminan Islam rahmatan lil alamin anda? Cuma jargon politik kepentingan?

Ideologi harus dihadapi dengan ideologi. Tapi monster sakit jiwa perlu dihadapi dengan senjata negara. Sekarang prioritasnya apakah membela masyarakat yang jadi korban atau monster teroris pembela ideologi anda?
==============
"Celakalah bagi orang-orang yang curang (dalam menakar dan menimbang), (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau menimbang (untuk orang lain), mereka mengurangi."
(Quran Surah Al Muthaffifin Ayat 1-3)
Copied from Facebook

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel